Aku Memilihmu Karena Engkau Manusia Biasa
Surat lamaran yang terindah
Sumber : http://alimmahdi.com
Setiap kali ada teman yang mau menikah, saya selalu mengajukan pertanyaan yang sama. Kenapa kamu memilih dia sebagai suamimu/istrimu? Jawabannya sangat beragam. Dari mulai jawaban karena Allah hingga jawaban duniawi (cakep atau tajir, manusiawi lah). Tapi ada satu jawaban yang sangat berkesan di hati saya.
Hingga detik ini saya masih ingat setiap detail percakapannya. Jawaban salah seorang teman yang baru saja menikah. Proses menuju pernikahannya sungguh ajaib. Mereka hanya berkenalan 2 bulan. Lalu memutuskan menikah. Persiapan pernikahan hanya dilakukan dalam waktu sebulan saja. Kalau dia seorang akhwat, saya tidak akan heran. Proses pernikahan seperti ini sudah lazim.
Dia bukanlah akhwat, sama seperti saya. Satu hal yang pasti, dia tipe wanita yang sangat berhati-hati dalam memilih suami. Trauma dikhianati lelaki membuat dirinya sulit untuk membuka diri. Ketika dia memberitahu akan menikah, saya tidak menanggapi dengan serius. Mereka berdua baru kenal sebulan. Tapi saya berdoa, semoga ucapannya menjadi kenyataan. Saya tidak ingin melihatnya menangis lagi.
Sebulan kemudian dia menemui saya. Dia menyebutkan tanggal pernikahannya. Serta memohon saya untuk cuti, agar bisa menemaninya selama proses pernikahan. Begitu banyak pertanyaan dikepala saya. Asli. Saya pengin tau, kenapa dia begitu mudahnya menerima lelaki itu.
Ada apakan gerangan? Tentu suatu hal yang istimewa. Hingga dia bisa memutuskan menikah secepat ini. Tapi sayang, saya sedang sibuk sekali waktu itu (sok sibuk sih aslinya). Saya tidak bisa membantunya mempersiapkan pernikahan. Beberapa kali dia telfon saya untuk meminta pendapat tentang beberapa hal. Beberapa kali saya telfon dia untuk menanyakan perkembangan persiapan pernikahannya. That’s all. Kita tenggelam dalam kesibukan masing-masing.
Saya menggambil cuti sejak H-2 pernikahannya. Selama cuti itu saya memutuskan untuk menginap dirumahnya. Jam 11 malam, H-1 kita baru bisa ngobrol -hanya- berdua di taman rumahnya. Hiruk pikuk persiapan akad nikah besok pagi, sungguh membelenggu kita. Padahal rencananya kita ingin ngobrol tentang banyak hal. Akhirnya, bisa juga kita ngobrol berdua. Ada banyak hal yang ingin saya tanyakan. Dia juga ingin bercerita banyak pada saya.
“Aku gak bisa tidur.” Dia memandang saya dengan wajah memelas. Saya paham kondisinya saat ini. Kita melanjutkan ngobrol sambil berbisik-bisik. Kita berbicara banyak hal, tentang masa lalu dan impian-impian kita. Wajah sumringahnya terlihat jelas dalam keremangan lampu taman.
“Kenapa kamu memilih dia?” Dia tersenyum simpul lalu bangkit dari duduknya sambil meraih HP disaku bajunya. Ia masuk dalam kamar berlahan dia membuka laci meja riasnya dan kembali ke taman lalu menyerahkan selembar amplop pada saya. Saya menerima HP dari tangannya. Amplop putih panjang dengan kop surat perusahaan tempat calon suaminya bekerja. Apaan sih. Saya memandangnya tak mengerti. Eeh, dianya malah ngikik geli.
“Buka aja.” Sebuah kertas saya tarik keluar. Kertas polos ukuran A4, saya menebak warnanya pasti putih hehehe. Saya membaca satu kalimat di atas dideretan paling atas.
“Busyet dah nih orang.” Saya menggeleng-gelengkan kepala sambil menahan senyum. Sementara dia Cuma ngikik melihat ekspresi saya. Saya memulai membacanya. Dan sampai saat inipun saya masih hapal dengan kata-katanya. Begini isi surat itu.
Kepada Yth
Calon istri saya, calon ibu anak-anak saya, calon anak Ibu saya dan calon kakak buat adik-adik saya
Di tempat
Assalamu’alaikum Wr Wb
Mohon maaf kalau anda tidak berkenan. Tapi saya mohon bacalah surat
ini hingga akhir. Baru kemudian silahkan dibuang atau dibakar, tapi saya mohon, bacalah dulu sampai selesai.
Saya, yang bernama …… menginginkan anda …… untuk menjadi istri saya.
Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya manusia biasa. Saat ini saya punya pekerjaan. Tapi saya tidak tahu apakah nanti saya akan tetap punya pekerjaan. Tapi yang pasti saya akan berusaha punya penghasilan untuk mencukupi kebutuhan istri dan anak-anakku kelak.
Saya memang masih kontrak rumah. Dan saya tidak tahu apakah nanti akan ngontrak selamannya. Yang pasti, saya akan selalu berusaha agar istri dan anak-anak saya tidak kepanasan dan tidak kehujanan.
Saya hanyalah manusia biasa, yang punya banyak kelemahan dan beberapa
kelebihan. Saya menginginkan anda untuk mendampingi saya. Untuk menutupi kelemahan saya dan mengendalikan kelebihan saya.
Saya hanya manusia biasa. Cinta saya juga biasa saja. Oleh karena itu. Saya menginginkan anda mau membantu saya memupuk dan merawat cinta ini, agar menjadi luar biasa. Saya tidak tahu apakah kita nanti dapat bersama-sama sampai mati. Karena saya tidak tahu suratan jodoh saya.
Yang pasti saya akan berusaha sekuat tenaga menjadi suami dan ayah yang baik.
Kenapa saya memilih anda? Sampai saat ini saya tidak tahu kenapa saya memilih anda. Saya sudah sholat istiqaroh berkali-kali, dan saya semakin mantap memilih anda. Yang saya tahu, Saya memilih anda karena Allah. Dan yang pasti, saya menikah untuk menyempurnakan agama saya, juga sunnah Rasulullah. Saya tidak berani menjanjikan apa-apa, saya hanya berusaha sekuat mungkin menjadi lebih baik dari saat ini.
Saya mohon sholat istiqaroh dulu sebelum memberi jawaban pada saya. Saya kasih waktu minimal 1 minggu, maksimal 1 bulan. Semoga Allah ridho dengan jalan yang kita tempuh ini. Amin
Wassalamu’alaikum Wr Wb
Saya memandang surat itu lama. Berkali-kali saya membacanya. Baru kali ini saya membaca surat ‘lamaran’ yang begitu indah. Sederhana, jujur dan realistis. Tanpa janji-janji gombal dan kata yang berbunga-bunga. Surat cinta minimalis, saya menyebutnya. Saya menatap sahabat disamping saya. Dia menatap saya dengan senyum tertahan.
“Kenapa kamu memilih dia.”
“Karena dia manusia biasa.” Dia menjawab mantap. “Dia sadar bahwa dia manusia biasa. Dia masih punya Allah yang mengatur hidupnya. Yang aku tahu dia akan selalu berusaha tapi dia tidak menjanjikan apa-apa. Soalnya dia tidak tahu, apa yang akan terjadi pada kita dikemudian hari. Entah kenapa, Itu justru memberikan kenyamanan tersendiri buat aku.”
“Maksudnya?”
“Dunia ini fana. Apa yang kita punya hari ini belum tentu besok masih ada. Iya kan? Paling gak. Aku tau bahwa dia gak bakal frustasi kalau suatu saat nanti kita jadi gembel. Hahaha.”
“Ssttt.” Saya membekap mulutnya. Kuatir ada yang tau kalau kita ngobrol rahasia. Terdiam kita memasang telinga. Sunyi. Suara jengkering terdengar nyaring diluar tembok. Kita saling berpandangan lalu cekikikan sambil menutup mulut masing-masing. “Udah tidur sana. Besok kamu kucel, ntar aku yang dimarahin Mama.” Percakapan kita tadi masih terngiang terus ditelinga saya.
“Gik…”
“Tidur. Dah malam.” Saya menjawab tanpa menoleh padanya. Saya ingin dia tidur, agar dia terlihat cantik besok pagi. Kantuk saya hilang sudah, kayaknya gak bakalan tidur semaleman nih. * * *
Satu lagi pelajaran pernikahan saya peroleh hari itu. Ketika manusia sadar dengan kemanusiannya. Sadar bahwa ada hal lain yang mengatur segala kehidupannya. Begitupun dengan sebuah pernikahan. Suratan jodoh sudah tergores sejak ruh ditiupkan dalam rahim. Tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana dan berapa lama pernikahannya kelak. Lalu menjadikan proses menuju pernikahan bukanlah sebagai beban tapi sebuah ‘proses usaha’.
Betapa indah bila proses menuju pernikahan mengabaikan harta, tahta dan ‘nama’. Embel-embel predikat diri yang selama ini melekat ditanggalkan. Ketika segala yang ‘melekat’ pada diri bukanlah dijadikan pertimbangan yang utama. Pernikahan hanya dilandasi karena Allah semata. Diniatkan untuk ibadah. Menyerahkan secara total pada Allah yang membuat skenarionya. Maka semua menjadi indah.
Hanya Allah yang mampu menggerakkan hati setiap umat-NYA.
Hanya Allah yang mampu memudahkan segala urusan.
Hanya Allah yang mampu menyegerakan sebuah pernikahan.
Kita hanya bisa memohon keridhoan Allah. Meminta-NYA mengucurkan barokah dalam sebuah pernikahan.
Hanya Allah jua yang akan menjaga ketenangan dan kemantapan untuk menikah.
Lalu, bagaimana dengan cinta? Ibu saya pernah bilang, Cinta itu proses. Proses dari ada, menjadi hadir, lalu tumbuh, kemudian merawatnya. Agar cinta itu bisa bersemi dengan indah menaungi dua insan dalam pernikahan yang suci. Witing tresno jalaran garwo (sigaraning nyowo), kalau diterjemahkan secara bebas: “Cinta tumbuh karena suami/istri( belahan jiwa).”
Cinta paling halal dan suci. Cinta dua manusia biasa, yang berusaha menggabungkannya agar menjadi cinta yang luar biasa.
Amin..::.
(Diposting atas ijin dari artikel kiriman H.Agung RisakSoni)
Showing posts with label Liku-liku kehidupan. Show all posts
Showing posts with label Liku-liku kehidupan. Show all posts
Monday, December 21, 2009
Adakah pihak pengurusan mengenali setiap kakitangannya?
Adakah pihak pengurusan mengenali setiap kakitangannya?
Semasa melangkah masuk ke dalam kilangnya, Pengarah Urusan Syarikat mendapati ada seorang pemuda yang sedang bersenang-senang bersandar di dinding bangunan tanpa melakukan apa-apa kerja.
Dia menghampiri pemuda itu dan dengan tenang dia bertanya,
“Berapa banyak gaji awak dapat sebulan?”
Pemuda itu agak kehairanan kerana ditanya dengan soalan yang begitu peribadi . Dia memandang tepat ke arah lelaki yang bertali leher merah dan berkot hitam itu lalu menjawab,
“ Saya memperolehi RM 1,500 sebulan, Tuan, tetapi mengapa Tuan bertanya?”
Tanpa menjawab soalan yang diajukan oleh pemuda itu, dia mengeluarkan dompet duit dan mengeluarkan RM 4,500.00 lalu memberikan kepada pemuda berkenaan.
“Di kilang ini saya menggaji orang untuk berkerja, bukan hanya berdiri dan bersenang-senang melihat keindahan.”
“Itu gaji tiga bulan kamu, mulai sekarang kamu boleh keluar dari kilang ini dan jangan datang ke kilang ini semula.”
Pemuda itu memalingkan mukanya ke arah pintu kilang dan terus hilang dari pandangan.
Menyedari perbuatannya diperhatikan oleh ramai kakitangannya yang berada di situ, Pengurus Urusan itu memandang ke arah mereka dan dengan nada yang tegas lalu berkata,
“Apa yang saya lakukan ini akan berlaku juga pada ke semua kakitangan di kilang ini.”
Dia menghampiri salah seorang pemerhatian kejadian tadi dan bertanya,
“Siapakah pemuda yang baru saya pecat tadi? Dia dari jabatan mana?”
Dengan agak tergamam pemerhati kejadian itu menjawab.
“Pemuda itu adalah penghantar bunga dari ‘gifts shop’ berhampiran, Tuan.”
Sumber : Unknown.( alih bahasa )
Semasa melangkah masuk ke dalam kilangnya, Pengarah Urusan Syarikat mendapati ada seorang pemuda yang sedang bersenang-senang bersandar di dinding bangunan tanpa melakukan apa-apa kerja.
Dia menghampiri pemuda itu dan dengan tenang dia bertanya,
“Berapa banyak gaji awak dapat sebulan?”
Pemuda itu agak kehairanan kerana ditanya dengan soalan yang begitu peribadi . Dia memandang tepat ke arah lelaki yang bertali leher merah dan berkot hitam itu lalu menjawab,
“ Saya memperolehi RM 1,500 sebulan, Tuan, tetapi mengapa Tuan bertanya?”
Tanpa menjawab soalan yang diajukan oleh pemuda itu, dia mengeluarkan dompet duit dan mengeluarkan RM 4,500.00 lalu memberikan kepada pemuda berkenaan.
“Di kilang ini saya menggaji orang untuk berkerja, bukan hanya berdiri dan bersenang-senang melihat keindahan.”
“Itu gaji tiga bulan kamu, mulai sekarang kamu boleh keluar dari kilang ini dan jangan datang ke kilang ini semula.”
Pemuda itu memalingkan mukanya ke arah pintu kilang dan terus hilang dari pandangan.
Menyedari perbuatannya diperhatikan oleh ramai kakitangannya yang berada di situ, Pengurus Urusan itu memandang ke arah mereka dan dengan nada yang tegas lalu berkata,
“Apa yang saya lakukan ini akan berlaku juga pada ke semua kakitangan di kilang ini.”
Dia menghampiri salah seorang pemerhatian kejadian tadi dan bertanya,
“Siapakah pemuda yang baru saya pecat tadi? Dia dari jabatan mana?”
Dengan agak tergamam pemerhati kejadian itu menjawab.
“Pemuda itu adalah penghantar bunga dari ‘gifts shop’ berhampiran, Tuan.”
Sumber : Unknown.( alih bahasa )
Thursday, December 10, 2009
Minda: Jangan jadi ‘unta buta’
Minda: Jangan jadi ‘unta buta’

KETIKA berkunjung ke luar negara atas urusan rasmi, saya berpeluang bertemu dengan rakan bisnes dan tokoh korporat syarikat ternama. Di samping mencari peluang bisnes, pelaburan dan usaha sama, kesempatan kerap juga saya gunakan untuk bertukar-tukar pandangan.
Satu pengalaman ketika berkunjung sebuah negara Arab masih segar dalam ingatan saya kerana berkait rapat dengan cabaran hebat yang dihadapi umat Islam hari ini.
Dalam kunjungan ke Kuwait sekitar hujung 1990-an, saya diraikan dalam satu majlis makan tengah hari anjuran sebuah badan korporat ternama Kuwait. Di situ saya bertemu dengan seorang tetamu berketurunan Jerman yang memeluk Islam beberapa tahun sebelumnya.
Dalam perbualan kami, beliau ditanya bagaimana dan kenapa memilih Islam sebagai pegangan hidup. Jawapan diberikan cukup memeranjatkan. Dengan nada tegas dan serius beliau menjawab: “Not because of Muslims!” (bukan kerana umat Islam!).
Beliau berasal daripada keluarga Katholik yang kuat beragama. Sebagai anak muda yang dahagakan kebenaran dan berminat mencari makna dan pengertian hidup sebenar, beliau tidak senang dengan kontradiksi yang jelas terdapat dalam ajaran agama serta pegangan hidup yang diwarisi dari keluarganya sebelum ini.
Sebagai seorang bekas duta Jerman yang berkhidmat di seluruh dunia, termasuk di beberapa negara Islam, beliau berpeluang berinteraksi dengan ramai orang tanpa mengira bangsa, kedudukan ekonomi, latar belakang budaya dan agama yang berlainan.
Katanya, jika dilihat kepada kehidupan rata-rata umat Islam yang miskin, daif, rendah budaya dan akhlak, cetek ilmu, kotor dan tidak teratur, tidak akan terlintas di hati beliau untuk memeluk Islam.
Namun, beliau bersyukur kerana menemui kebenaran Islam dari sumber lain. Selepas dewasa, beliau membaca lebih 200 buku mengenai semua jenis agama dan falsafah hidup. Beliau paling bersyukur kerana mampu membaca al-Quran dan memahami maksudnya.
Hakikatnya kini, rata-rata kehidupan umat Islam masih daif, miskin, menderita dan melarat, rendah tahap pencapaian ilmu, budaya dan tamadun, yang menyebabkan bukan saja umatnya, malah agamanya yang tinggi dan suci mulia itu dipandang rendah oleh orang lain.
Sekalipun terdapat negara Arab dan negara Islam lain kaya raya, malah lebih kaya daripada sesetengah negara Barat, kekayaan tidak langsung dirasai golongan besar masyarakat dan tidak berupaya membela nasib majoriti umat.
Laporan Projek Pembangunan Bangsa-bangsa Bersatu (UNDP) menyatakan bagi setiap lima orang di dunia Arab kini, dua daripadanya miskin dan melarat dengan pendapatan tidak sampai AS$2 (RM6.80) sehari.
Ia jelas menunjukkan kedaifan dan keadaan hidup sebahagian besar bangsa Arab berbanding imej kemewahan dan persepsi kekayaan orang lain terhadap mereka.
Laporan juga menyatakan kerajaan negara-negara Arab kelihatan tidak berupaya menyelesaikan masalah cabaran hidup dihadapi majoriti penduduknya.
Menjelang 2020, UNDP menganggarkan dunia Arab perlu menyediakan 50 juta peluang kerja untuk generasi baru remaja Arab.
Dengan kedudukan politik, ekonomi, bisnes dan korporat Arab yang bergolak, tuntutan itu dikatakan mustahil. Jelas negara Arab tidak bersedia berubah dan membawa pembaharuan dalam sistem kehidupan mereka.
Andainya benar kajian UNDP ini, keadaan umat Islam, khasnya di dunia Arab dijangka bertambah buruk.
Ini membawa implikasi besar terhadap kehidupan umat di seluruh dunia, lebih-lebih lagi apabila diambil kira keadaan umat Islam di negara-negara lain seperti Afrika, Afghanistan, Pakistan, Bangladesh, India, Asia Tenggara dan Asia Tengah serta barat China yang masih menantikan pembelaan.
Masalah ini sangat membimbangkan kerana Islam dengan tegas dan dari awal mengingatkan umatnya menerusi sebuah hadis Rasulullah bahawa kefakiran membawa kepada kekufuran.
Lebih membimbangkan hakikat umat Islam, termasuk di beberapa negara Arab yang kaya-raya, terdapat sikap dan minda yang hanya akan menambahkan kegawatan dan kecelaruan.
Dalam penulisan sebelum ini, saya pernah menyarankan umat Islam supaya tidak ‘membabi-buta’ dan berebut-rebut menciplak sistem ekonomi Barat yang berteraskan kapitalisme rakus dan tamak.
Dalam konteks bangsa Arab pula, jelas sekali mereka perlu mengelakkan diri mereka daripada menjadi ‘unta buta’ - berebut-rebut membina sistem ekonomi dengan menciplak bulat-bulat kaedah sistem kapitalisme rakus dan tamak itu.
Di Dubai, kesan dan impak sikap ‘unta buta’ ini jelas sekali kelihatan. Dubai pernah disanjung tinggi sebagai antara kota Arab paling ke depan khasnya dalam pembangunan berlandaskan amalan kapitalis Barat.
Kebelakangan ini, selepas dunia dilanda krisis berpunca daripada kelemahan ekonomi yang bermula di Amerika Syarikat, (dikatakan akibat kerakusan dan ketamakan pemimpin korporat dan bank Amerika), ekonomi Dubai turut terjejas teruk.
Atas dasar inilah semakin banyak kritikan dilemparkan terhadap Dubai.
Sesungguhnya banyak yang tidak kena dengan cara umat Islam dan Arab menggunakan harta kekayaan mereka. Mereka berebut-rebut menandingi, melebihi dan mendahului Barat sedangkan cara Barat yang angkuh dan rakus itu sendiri selama ini tidak disenangi oleh semua orang.
Islam juga sangat tegas menganjurkan supaya jangan dibiarkan harta kekayaan berputar cuma di kalangan orang kaya saja dalam masyarakat dan semua yang fakir dan miskin diberi hak untuk menuntut bahagian mereka daripada semua harta kekayaan ini.
Andainya tidak diawasi, sikap ‘unta buta’ ini diumpamakan kekayaan yang boleh membawa kepada kekufuran.
Majalah The Economist yang diterbitkan di London baru-baru ini menganggap fenomena Dubai sebagai ‘satu empayar yang dibina atas pasir...satu monumen kerakusan besar dan angkuh dan menjolok mata tidak berkelangsungan’.
Akhbar itu melihat Dubai sebagai ‘Planet Dubai’, iaitu satu ‘monumen kepada sikap berlebihan melampau, satu berhala konsumerisme’ dan ‘satu hasil besar perahan daripada kapitalisme semasa’. Sungguh membimbangkan.
Dalam keadaan dua daripada setiap lima umat Islam kelaparan, tergamak pula yang kaya di kalangan mereka ghairah melayani selera dan memuaskan nafsu mengikut anjuran kerakusan dan keserakahan Barat.
Terdapat juga di kalangan jutawan Arab sanggup berlumba berbilion dolar membeli kelab bola sepak Inggeris dan tidak untuk membuat kebaikan (fastabiqul khairat) seperti yang dianjurkan Islam.
Jika dibiar berleluasa dan dicontohi pula negara Islam maju yang lain, apakah nasib masa depan umat Islam? Apakah sikap seperti ini harus dibiarkan menguasai suasana hingga mengakibatkan umat Islam berpecah dan hilang kepercayaan sesama sendiri? Apakah harus dibiarkan mereka menggelapkan dan mengaburi pandangan orang bukan Islam terhadap agama Islam?
Akhirnya kita terpaksa menerima dan bersetuju dengan pendirian bekas duta Jerman Muslim tadi.
Kita harus berbuat sesuatu segera mengelakkan situasi di mana bukan Muslim lain yang tidak cekal dan tidak besar jiwa sepertinya hilang minat dan terpesong daripada menemui kebenaran dan kesucian Islam serta menikmati rahmat sebagaimana yang dijanjikan kepada semua umat manusia cuma kerana kelemahan dan ‘kebutaan’ kita sendiri.
>Penulis ialah Presiden dan Ketua Eksekutif Johor Corporation merangkap Timbalan Presiden Dewan Perniagaan Islam Malaysia

KETIKA berkunjung ke luar negara atas urusan rasmi, saya berpeluang bertemu dengan rakan bisnes dan tokoh korporat syarikat ternama. Di samping mencari peluang bisnes, pelaburan dan usaha sama, kesempatan kerap juga saya gunakan untuk bertukar-tukar pandangan.
Satu pengalaman ketika berkunjung sebuah negara Arab masih segar dalam ingatan saya kerana berkait rapat dengan cabaran hebat yang dihadapi umat Islam hari ini.
Dalam kunjungan ke Kuwait sekitar hujung 1990-an, saya diraikan dalam satu majlis makan tengah hari anjuran sebuah badan korporat ternama Kuwait. Di situ saya bertemu dengan seorang tetamu berketurunan Jerman yang memeluk Islam beberapa tahun sebelumnya.
Dalam perbualan kami, beliau ditanya bagaimana dan kenapa memilih Islam sebagai pegangan hidup. Jawapan diberikan cukup memeranjatkan. Dengan nada tegas dan serius beliau menjawab: “Not because of Muslims!” (bukan kerana umat Islam!).
Beliau berasal daripada keluarga Katholik yang kuat beragama. Sebagai anak muda yang dahagakan kebenaran dan berminat mencari makna dan pengertian hidup sebenar, beliau tidak senang dengan kontradiksi yang jelas terdapat dalam ajaran agama serta pegangan hidup yang diwarisi dari keluarganya sebelum ini.
Sebagai seorang bekas duta Jerman yang berkhidmat di seluruh dunia, termasuk di beberapa negara Islam, beliau berpeluang berinteraksi dengan ramai orang tanpa mengira bangsa, kedudukan ekonomi, latar belakang budaya dan agama yang berlainan.
Katanya, jika dilihat kepada kehidupan rata-rata umat Islam yang miskin, daif, rendah budaya dan akhlak, cetek ilmu, kotor dan tidak teratur, tidak akan terlintas di hati beliau untuk memeluk Islam.
Namun, beliau bersyukur kerana menemui kebenaran Islam dari sumber lain. Selepas dewasa, beliau membaca lebih 200 buku mengenai semua jenis agama dan falsafah hidup. Beliau paling bersyukur kerana mampu membaca al-Quran dan memahami maksudnya.
Hakikatnya kini, rata-rata kehidupan umat Islam masih daif, miskin, menderita dan melarat, rendah tahap pencapaian ilmu, budaya dan tamadun, yang menyebabkan bukan saja umatnya, malah agamanya yang tinggi dan suci mulia itu dipandang rendah oleh orang lain.
Sekalipun terdapat negara Arab dan negara Islam lain kaya raya, malah lebih kaya daripada sesetengah negara Barat, kekayaan tidak langsung dirasai golongan besar masyarakat dan tidak berupaya membela nasib majoriti umat.
Laporan Projek Pembangunan Bangsa-bangsa Bersatu (UNDP) menyatakan bagi setiap lima orang di dunia Arab kini, dua daripadanya miskin dan melarat dengan pendapatan tidak sampai AS$2 (RM6.80) sehari.
Ia jelas menunjukkan kedaifan dan keadaan hidup sebahagian besar bangsa Arab berbanding imej kemewahan dan persepsi kekayaan orang lain terhadap mereka.
Laporan juga menyatakan kerajaan negara-negara Arab kelihatan tidak berupaya menyelesaikan masalah cabaran hidup dihadapi majoriti penduduknya.
Menjelang 2020, UNDP menganggarkan dunia Arab perlu menyediakan 50 juta peluang kerja untuk generasi baru remaja Arab.
Dengan kedudukan politik, ekonomi, bisnes dan korporat Arab yang bergolak, tuntutan itu dikatakan mustahil. Jelas negara Arab tidak bersedia berubah dan membawa pembaharuan dalam sistem kehidupan mereka.
Andainya benar kajian UNDP ini, keadaan umat Islam, khasnya di dunia Arab dijangka bertambah buruk.
Ini membawa implikasi besar terhadap kehidupan umat di seluruh dunia, lebih-lebih lagi apabila diambil kira keadaan umat Islam di negara-negara lain seperti Afrika, Afghanistan, Pakistan, Bangladesh, India, Asia Tenggara dan Asia Tengah serta barat China yang masih menantikan pembelaan.
Masalah ini sangat membimbangkan kerana Islam dengan tegas dan dari awal mengingatkan umatnya menerusi sebuah hadis Rasulullah bahawa kefakiran membawa kepada kekufuran.
Lebih membimbangkan hakikat umat Islam, termasuk di beberapa negara Arab yang kaya-raya, terdapat sikap dan minda yang hanya akan menambahkan kegawatan dan kecelaruan.
Dalam penulisan sebelum ini, saya pernah menyarankan umat Islam supaya tidak ‘membabi-buta’ dan berebut-rebut menciplak sistem ekonomi Barat yang berteraskan kapitalisme rakus dan tamak.
Dalam konteks bangsa Arab pula, jelas sekali mereka perlu mengelakkan diri mereka daripada menjadi ‘unta buta’ - berebut-rebut membina sistem ekonomi dengan menciplak bulat-bulat kaedah sistem kapitalisme rakus dan tamak itu.
Di Dubai, kesan dan impak sikap ‘unta buta’ ini jelas sekali kelihatan. Dubai pernah disanjung tinggi sebagai antara kota Arab paling ke depan khasnya dalam pembangunan berlandaskan amalan kapitalis Barat.
Kebelakangan ini, selepas dunia dilanda krisis berpunca daripada kelemahan ekonomi yang bermula di Amerika Syarikat, (dikatakan akibat kerakusan dan ketamakan pemimpin korporat dan bank Amerika), ekonomi Dubai turut terjejas teruk.
Atas dasar inilah semakin banyak kritikan dilemparkan terhadap Dubai.
Sesungguhnya banyak yang tidak kena dengan cara umat Islam dan Arab menggunakan harta kekayaan mereka. Mereka berebut-rebut menandingi, melebihi dan mendahului Barat sedangkan cara Barat yang angkuh dan rakus itu sendiri selama ini tidak disenangi oleh semua orang.
Islam juga sangat tegas menganjurkan supaya jangan dibiarkan harta kekayaan berputar cuma di kalangan orang kaya saja dalam masyarakat dan semua yang fakir dan miskin diberi hak untuk menuntut bahagian mereka daripada semua harta kekayaan ini.
Andainya tidak diawasi, sikap ‘unta buta’ ini diumpamakan kekayaan yang boleh membawa kepada kekufuran.
Majalah The Economist yang diterbitkan di London baru-baru ini menganggap fenomena Dubai sebagai ‘satu empayar yang dibina atas pasir...satu monumen kerakusan besar dan angkuh dan menjolok mata tidak berkelangsungan’.
Akhbar itu melihat Dubai sebagai ‘Planet Dubai’, iaitu satu ‘monumen kepada sikap berlebihan melampau, satu berhala konsumerisme’ dan ‘satu hasil besar perahan daripada kapitalisme semasa’. Sungguh membimbangkan.
Dalam keadaan dua daripada setiap lima umat Islam kelaparan, tergamak pula yang kaya di kalangan mereka ghairah melayani selera dan memuaskan nafsu mengikut anjuran kerakusan dan keserakahan Barat.
Terdapat juga di kalangan jutawan Arab sanggup berlumba berbilion dolar membeli kelab bola sepak Inggeris dan tidak untuk membuat kebaikan (fastabiqul khairat) seperti yang dianjurkan Islam.
Jika dibiar berleluasa dan dicontohi pula negara Islam maju yang lain, apakah nasib masa depan umat Islam? Apakah sikap seperti ini harus dibiarkan menguasai suasana hingga mengakibatkan umat Islam berpecah dan hilang kepercayaan sesama sendiri? Apakah harus dibiarkan mereka menggelapkan dan mengaburi pandangan orang bukan Islam terhadap agama Islam?
Akhirnya kita terpaksa menerima dan bersetuju dengan pendirian bekas duta Jerman Muslim tadi.
Kita harus berbuat sesuatu segera mengelakkan situasi di mana bukan Muslim lain yang tidak cekal dan tidak besar jiwa sepertinya hilang minat dan terpesong daripada menemui kebenaran dan kesucian Islam serta menikmati rahmat sebagaimana yang dijanjikan kepada semua umat manusia cuma kerana kelemahan dan ‘kebutaan’ kita sendiri.
>Penulis ialah Presiden dan Ketua Eksekutif Johor Corporation merangkap Timbalan Presiden Dewan Perniagaan Islam Malaysia
Subscribe to:
Posts (Atom)